Buku ini berkisah tentang Novalee Nation yang memiliki latarbelakang kehidupan menyedihkan. Ketika berumur 7 tahun, Novalee dibuang oleh ibu kandungnya (Momma Nell), dan ketika berumur 17 tahun Novalee ditelantarkan oleh pacar yang telah menghamilinya (Willy Jack Peckins). Novalee ditinggalkan di Wal-Mart di kota dimana Novalee tidak kenal siapapun, kota dimana Novalee belum pernah berada sebelumnya.
Novalee ditinggalkan oleh Willy Jack di kota Sequoyah ketika melakukan perjalanan dari Tellico Plains, Tennessee menuju California.

Saat Novalee sendiri di Wal-Mart menunggu Willy Jack yang tak kunjung tiba, dia bertemu dengan banyak orang-orang baru yang baik hati. Novalee hidup di Wal-Mart berbulan-bulan tanpa diketahui seorang pun, hingga dia melahirkan anaknya di sana.
Di Sequoyah, di lingkungan Wal-Mart, Novalee menemui orang-orang baru dan kehidupannya menjadi jauh sangat berbeda setelahnya. 

Novalee bertemu dengan Sister Husband yang akhirnya memberikannya tempat tinggal setelah melahirkan anaknya, Americus. Novalee dipertemukan dengan Forney Hull, yang selalu memberikan Novalee buku-buku untuk dibaca, dan yang akhirnya menjadi cinta sejatinya.
Novalee juga bertemu dengan Moses Whitecotton, seorang fotografer, yang mengajari Novalee tentang dunia fotografi dan memberi rekomendasi-rekomendasi kamera serta mengajari mengambil foto dengan hati. Novalee juga menjadi mahasiswa di akademi fotografi!! walaupun Novalee tidak menyelesaikan kelas sepuluh.

Masih banyak teman-teman lainnya yang membawa Novalee kepada kehidupan yang sungguh indah.
Teman-teman yang sudah seperti keluarga dan menyayanginya. 

Dari Novalee yang ditelantarkan ibu kandung dan ditinggal di antah berantah oleh pacar yang menghamilinya, menyadi Novalee yang punya anak yang cerdas, pekerjaan yang bagus, menjadi fotografer yang andal, membaca banyak buku dan menemukan cinta sejatinya.


Ada satu ucapan Novalee kepada Lexie, seorang Ibu yang sangat merasa bersalah kepada anak-anaknya atas kejadian yang menyedihkan yang tidak diharapkan, ucapan yang sangat mengena di hati, dan orang-orang layak untuk membacanya:
"Tetapi katakan kepada mereka, kita juga punya kebaikan dalam diri kita. Dan satu-satunya yang layak menjadi alasan kita hidup adalah kebaikan itu. Maka kita harus memastikan kita mewariskan kebaikan itu".


Tak ada yang lebih tabah
dari hujan di bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan di bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan di bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
 Diserap akar pohon bunga itu


Karya: Saparji Djoko Damono


-Puisi yang jadi semacam suara yang mewakili perasaan
Tuhanku, bila hati kawanku
terluka oleh tingkah ujarku,
dan kehendakku jadi panduku,
ampunilah.

Jikalau tuturku tak semena
dan aku tolak orang berkesah,
pikir dan tuturku bercela,
ampunilah.

Dan hari ini aku bersembah
serta padaMu, Bapa, Berserah,
berikan daku kasihMu mesra.
Amin, amin


-Nyanyian penyesalan, KJ 467-
Mengapa saya menulis? Karena usia saya singkat tapi banyak yang harus diucapkan. Mengapa saya menulis? Karena saya tidak abadi tapi cerita saya imortal. Mengapa saya menulis? Karena hidup lekang sementara imajinas seluas alam semesta. Mengapa saya menulis? Karena saya tidak punya sayap sementara komitmen seni dapat mengantar saya terbang ke langit ketujuh -- Clara Ng

Lebih dari merayakan ulangtahun kelahiran, lebih dari menyambut kedatangan seorang bayi yg lahir kedunia, lebih dari mendapatkan undian milyaran rupiah, lebih dari apapun yg orang-orang anggap begitu membahagiakan, begitulah jiwaku, meletup-letup dan begitu bergejolak. Kau terima permintaan pertemananku di Path hari itu, di hari ulang tahunmu. Kau yang berulangtahun, tapi aku yang dapatkan hadiah. Melompat kesana kemari, senyum dan senandung merayakan kebahagiaan ini. Sudah lama aku merindukan berkomunikasi denganmu, sudah begitu banyak percakapan tentangmu yang kulakukan dengan Tuhan ditiap-tiap malam, sudah tak terkira lagi kunjunganku di semua media sosialmu.

Entah kekuatan darimana yang mendorongku untuk mengirim permintaan pertemanan di Path malam itu. Taukah kau, aku begitu takut, setelah beberapa waktu lalu, undangan BBM ku yg berulangkali kukirimkan tak pernah kau terima, setelah beberapa waktu lalu aku selalu coba ajak kau berbincang tapi kau abaikan.

Entah angin apa pula yang menggerakkanmu mau menerima permintaan pertemanan dariku. Tapi ini tak kuambil pusing. Seketika saat itu juga kukirimkan pesan melalui Path, “Selamat ulangtahun bang”. Aih, hatiku mungkin sudah dipenuhi ketakutan. Begitu menggunung kata-kata dan doa-doa dalam pikiranku tapi sesingkat itu saja yang berani kusampaikan.

Sebelum kau terima pertemanan di Path, sebelum kita bercakap di media sosial ini, aku sebenarnya sudah kirimkan ucapan selamat padamu melalui twitter. Tepat di penghujung malam 21, tepat di pergantian hari menuju 22 . Entahlah. Aku begitu antusias akan hari lahirmu.

Kau balas pesan dariku. Sesuatu yang sudah diluar ekspektasiku. Karena, cukup bagiku kau baca ucapan selamatku. Itu saja sudah membuatku senang tiada kepalang. Apalagi kau membalasnya, really makes me feel like in the 7th heaven.

Hari itu, hari ulangtahunmu, menjadi hari yang begitu membekas bagiku. Karena akhirnya kuluapkan segala hal yang menjadi kegelisahanku selama hampir 2 tahun, sejak februari 2014 lalu. Tiada lagi yang tidak kau tahu. Kau tahu aku begitu menginginkanmu, kau tahu kau adalah perbincangan yg paling mengasyikan yang kulakukan dengan Tuhan, kau tahu aku pengunjung setia sosial mediamu, kau tahu aku masih mengharapkanmu sampai saat ini, tak berkurang sedikitpun. Kau pun heran dengan apa yang kualami, dan bertanya bagaimana bisa, apakah perasaan itu masih ada?. Jangankan kau, aku sendiri pemilik perasaan ini, masih belum bisa pahami. Andai aku tahu kenapa, andai aku bisa mencegah dan andai aku bisa hilangkan semua perasaan ini, pasti kulakukan. Semua ini diluar kendaliku. Rasa suka ini masih sama besar, tebal, pekatnya atau apapun itu. Tiada yang bisa kurubah dari perasaan ini.

Dipercakapan itu,

Kau berterimakasih atas semua perasaan dan kejujuranku. -- Untuk apa? Perasaan dan kejujuran ini tak ada untungnya sedikitpun untukmu.

Kau katakan kau belum dapat mengatakan iya atau tidak saat ini. -- Ini hanya bentuk ketidakenakanmu saja kan (?).

Kau tanyakan aku masih sendirikah? --  Kau kira aku main-main. Aku tidak mungkin bersama oranglain kalau perasaan ini masih kau tuannya.

Kau bilang, kalau tidak cepat  move-on bagaimana mau dapat jodoh?.  -- Santun sekali caramu mengusir. Kau tidak menginginkan aku, kau mengharapkan oranglainlah yang bersamaku.

Sejak percakapan ini, aku sering bergeming.  Hancur rasanya. Iya, aku sudah hancur dari dulu. Tapi ini, semakin. Aku tidak butuh obat atau pil. Aku sudah merasa dipenuhi obat-obatan. Rasa sakitnya luar biasa___


Satu bulan  sudah Bapak meninggalkan kami. Terlalu berat untuk menyadari Bapak tidak ada lagi.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku alami, aku tidak percaya Bapak pergi begitu cepat.

Setiap waktuku semenjak Bapak pergi selalu terisi dengan rindu dan pilu. 
Begitu pilu memiliki rindu yang tak dibalas dengan bertemu rupa dan tak terobati dengan mendengarkan suara. Begitu pilu karena rindu ini selalu membawaku pada kenangan-kenangan ketika Bapak masih bersama kami dan begitu pilu menghadapi kenyataan bahwa kami tidak dapat merasakan hal-hal seperti itu kembali.


Terimakasih Pak sudah mengajari banyak hal pada kami dalam hidup ini. 
Yang kami ingat tetap tawamu, Pak. Tetap cerahmu ketika kau bersama kami.

Bapak menahan sakit, dan Bapak telah berjuang.
Kami tak pernah mungkin menyembuhkan Bapak, kami hanya ingin membuat Bapak tersenyum.

Dan Bapak tersenyum.
Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis , apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugestikan, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu. (P.428)