Kobaran Semangat Tari dalam Matahari untuk Mak

Oleh : Riama Oktaviyani Samosir

Melalui karya emasnya tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata mengobarkan semangat perjuangan dalam pendidikan yang tergambar lewat tokoh sepuluh anggota laskar pelangi yang menuntut ilmu di sekolah reot, SD Muhammadiyah, atau lewat jejak-jejak kegigihan Arai dan Ikal dalam meraih mimpi. Layaknya Einstein, melalui karyanya Andrea Hirata seolah memberi sebuah postulat “Tidak ada yang tidak mungkin, jika kita mau berjuang untuk meraihnya”.
Berideologikan hal yang sama, tentang pendidikan dan perjuangan. Jumeimi Mulyati memberi sebuah angin segar kepada pembaca yang coba dihembuskan dalam cerpennya yang berjudul, Matahari untuk Mak. Matahari untuk Mak merupakan wadah bagi penulis untuk mengkampanyekan nilai-nilai bagi mereka yang memilki keterbatasaan tapi haus akan ilmu, dan bagi mereka memiliki kesempatan untuk menyelam dalam lautan ilmu tapi menyia-nyiakannya.
Cerpen ini mengungkapkan sebuah kisah tentang seorang gadis yang bernama Tari.Tari berada dalam dilema antara dua pilihan , berhenti atau terus kuliah. Ia terombang-ambing dalam sebuah kebimbangan dan keprihatinan atas kondisi Maknya yang sudah tua dan tetap harus berkerja sebagai satu-satunya tulang punggung demi menopang kehidupan keluarga. Tetapi atas sokongan dari Maknya Tari tetap melanjutkan kuliah. Tari pun pergi ke kota dengan mengantongi sebuah harapan agar dapat membawakan matahari untuk menyinari setiap langkah Maknya kelak.
Selalu terekam didalam jejak ingatan Tari tentang suatu waktu ketika Mak menyerahkan sebuah kotak kecil kepadanya. Berbagai pertanyaan menari-nari dibenaknya tentang isi kotak itu. Ternyata kotak kecil itu berisikan peninggalan paling berharga dari sang Bapak yaitu perhiasan yang dijadikan sebagai mahar pernikahan Mak dengan Bapak . Semula Tari menutup hati untuk menerima barang tersebut, tetapi dengan segala ketulusan Mak memberikan itu semua, Tari pun menerimanya. Tak sedikitpun ada gurat kesedihan di wajah Mak saat memberikan benda berharga itu pada Tari. Benda yang merupakan lambang cinta dan kasih sayang, benda yang menyimpan segudang nilai sejarah. Begitulah sifat seorang Ibu. Cerpen ini membuka cakrawala pikiran kita tentang kemuliaan seorang ibu. Seorang ibu mau memberikan apapun demi kebaikan anaknya, kendatipun ia harus menderita. Kasih ibu bagaikan udara,yang selalu berhembus kapanpun, meskipun kita tidak pernah memintanya.
Sama seperti kisah dengan tokoh remaja lainnya, penulis juga membidik “cinta” menjadi bumbu penyedap dalam cerpen ini. Dialah Raka senior Tari yang menaruh hati padanya. Pesona Raka sebagai seorang anak pengusaha kaya raya, berwajah tampan dan keren, ternyata tak mampu menggoyahkan hati Tari. Meski juga memilki ketertarikan, Tari tak ingin hanyut terbawa cinta yang ombaknya bisa meluluhlantahkan cita-citanya. Tari sadar bahwa tujuannya ke kota adalah demi sepotong matahari untuk maknya, karena itulah dia mengabaikan sepotong cinta yang diberikan Raka untuknya.
Inilah sebuah sisi lain yang coba diangkat Jumeimi Mulyati ke permukaan. Sikap Tari yang mengenyampingkan urusan cinta, menjadi suatu asupan dan panutan yang baik bagi pembaca umumnya dan remaja khususnya dimana remaja yang ada dalam masa transisi, sangat mudah terbuai akan cinta, dan rentan dengan pengaruh pergaulan bebas.
Jika kita telisik di kehidupan nyata, konflik-konflik yang ada dalam cerpen ini sangat lazim terjadi, dimana seorang ibu berjuang demi anaknya dan begitu pula sebaliknya si anak yang juga berjuang demi kebahagiaan ibunya. Namun, di zaman yang serba canggih saat ini, banyak anak-anak yang bahkan rasa hormatnya terhadap orang tua sudah hilang dimakan arus peradaban, kehidupan yang serba ada, pendidikan yang diberikan orang tua dengan kerja keras, justru disia-siakan oleh si anak begitu saja.
Padahal seharusnya perkembang zaman teknologi dan kemajuan di berbagai aspek menjadi suatu pendukung para pelajar untuk menjalani proses pendidikan yang lebih baik. Mengutip sebuah filosofi sederhana dari Nelson Mandela “Pendidikan adalah senjata yang paling dahsyat untuk mengubah dunia”. Hal ini sepertinya tidak sepenuhnya dipahami oleh pelajar saat ini. Sedikit sekali pelajar yang memiliki semangat juang yang tinggi seperti Ranjani Utari. Inilah pesan yang ingin dihembuskan Jumeimi Mulyati melalui cerpennya, yang secara moral telah disampaikan lewat tokoh Tari . Konsep pemikiran Tari dalam cerpen ini layak menjadi acuan para pelajar Indonesia untuk eksistensi mereka dalam dunia pendidikan.
Gaya penceritaan yang digunakan Jumeimi Mulyati dengan menggunakan potongan matahari merupakan cara yang unik sehingga dapat mengundang keingintahuan pembaca tentang kelanjutan cerita. Pembaca mencoba menerka-nerka potongan apa yang akan diperoleh Tari setelah mendapatkan potongan matahari pertama berupa beasiswa.
Penulis memberikan sebuah kejutan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembaca. Dalam pikiran pembaca potongan matahari yang akan diberikan Tari selanjutnya adalah potongan-potongan matahari hasil kegigihan dan kerja keras Tari. Namun, potongan matahari kali ini justru buah dari ketidaksengajaan. Dimana Tari secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pria di toko buku yang ternyata adalah ayah kandungnya.
Kekagetan yang luar biasa juga terjadi karena ternyata ayah kandung Tari adalah ayah kandung Raka, lelaki yang selama ini mencintainya. Raka dengan besar hati menerima Tari sebagai adik kandungnya dari istri ke dua ayahnya, mak. Padahal ada konflik batin yang bisa diangkat penulis, gambaran tentang bagaimana pergulatan batin tokoh Raka ketika mendapati gadis yang dicintainya dan gadis yang diinginkannya menjadi kekasih, justru adalah adik kandungnya sendiri.
Diawal cerita pembaca sangat kagum dengan tokoh Mak, yang dengan segala jerih payahnya berjuang demi pendidikan anaknya. Akan tetapi, ketika sebuah kisah masa lalu terkuak, ada sebuah pemikiran sinis terhadap tokoh Mak. Mak sebagai sosok wanita yang memilki harga diri yang tinggi kembali dipertanyakan, kenapa mak mau menjadi istri ke dua? Apalagi jika pernikahan itu terjadi tanpa izin istri pertama? Tidakkah mak takut disebut sebagai perebut suami orang? Ataukah mak menikah justru karena kepolosan mak sebagai wanita desa yang tidak tahu bahwa pria yang menikahinya telah beristri? Atau mak justru pura-pura tidak tahu karena telah dibutakan oleh cinta?
Segudang pertanyaan ini nyatanya sama sekali tidak dijelaskan oleh penulis, bahkan Tari sebagai dari anak pernikahan kedua ayahnya juga tak terlintas pertanyaan sedemikian rupa. Walaupun dalam cerita, penulis memperlihatkan tokoh mak yang akhirnya mau mengalah dan memilih meninggalkan suaminya takkala terjadi konflik dengan istri pertama, namun hal ini dirasa belum mampu menepis anggapan-anggapan tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, pada hakikatnya sebuah cerpen adalah pekerjaan media yang membangun kembali realitas gaya bahasa sebagai perangkat dasarnya. Dan dengan kepiawaiannya Jumeimi Mulyati mampu membangun realitas itu dalam cerpen Matahari Untuk Mak. Cerpen Matahari Untuk Mak sukses membenamkan para pembaca kedalam kisah-kisahnya. Ini karena bahasa yang digunakan begitu memesona. Tidak semua cerpen mampu menghadirkan bahasa yang sangat menawan. Banyak penulis mengatakan bahwa bahasa indah itu akan muncul melalui luapan-luapan imajinasi . Dan waktu adalah alasan dasar mereka untuk mendapat imajinasi-imajinasi itu. Mereka berpendapat, berimajinasi membutuhkan alokasi waktu khusus. Padahal semua manusia memiliki waktu yang sama dalam sehari, yaitu 24 jam. Tetapi Jumeimi Mulyati mampu keluar dari kungkungan waktu tersebut. Pengarang mampu menumpahkan luapan imajinasinya dalam bentuk kemolekan bahasa dalam cerpen ini.
Dengan ketrampilan tekhnik bercerita penulis, cerpen ini mampu membius semangat yang mulai memudar dijiwa pemuda, memberikan pesan bahwa kita harus patuh serta kasih kepada orang tua kita. Berbagai unsur telah diolah secara baik oleh penulis, dan telah memberikan kepuasan tersendiri bagi pembacanya.
Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Matahari Untuk Mak menggunakan sudut pandang orang pertama yang mengakukan tokoh Tari. Teknik penggunaan sudut pandang orang pertama seperti ini merupakan suatu hal yang mempermudah pemahaman pembaca. Pembaca akan merasa terlibat dalam cerpen ini karena menggunakan kata aku untuk tokoh utama. Pembaca menjiwai dan ikut merasakan apa yang dialami oleh Tari. Inilah sisi lain dari kekuatan cerpan ini.
Pemilihan komposisi alur dalam cerpen Matahari untuk Mak terkesan kurang bervariasi. Kita tidak menemukan alur flashback. Jalannya cerita disusun begitu sederhana sehingga cerita mengalir lembut begitu saja. Pemilihan alur terbuka dimana cerita tidak diselesaikan oleh penulis, menjadi pilihan yang berbeda. Penulis mungkin menginginkan pembaca yang menyelesaikan sendiri cerita dalam versi masing-masing ataukah penulis akan menjawab semua ketidakjelasan akhir cerita dalam Matahari untuk Mak Jilid 2? Entahlah, apapun itu pilihan penulis, baik terhadap tokoh, konflik, gaya penceritaan, alur dan lain sebagainya perlu diberikan sebuah apresiasi, sebab apalah arti sebuah karya sastra tanpa apresiasi dari pembaca.